ASAL USUL ANGKRINGAN YANG MERAKYAT
Warung Angkringan sangat akrab dikenal masyarakat di solo sebagai salah satu alternatif kuliner di solo, terutama di Jawa seperti jogja, surabaya dan malang. Umumnya Angkringan berupa warung tenda sederhana dengan waktu operasi mulai sore hingga dini hari.
Menu paling digemari dari warung yang kerap dianggap warung wong cilik ini tentu saja adalah Nasi Kucing (yang dalam bahasa Jawa disebut Sego Kucing). Biasanya lauk pauk seperti tempe sambal kering, teri goreng, sate telur puyuh, sate usus, sate ceker, dan ikan bandeng menjadi menu tambahan. Sedangkan untuk minuman, umumnya menjual wedang jahe, susu jahe, teh manis, air jeruk dan kopi.
Menu paling digemari dari warung yang kerap dianggap warung wong cilik ini tentu saja adalah Nasi Kucing (yang dalam bahasa Jawa disebut Sego Kucing). Biasanya lauk pauk seperti tempe sambal kering, teri goreng, sate telur puyuh, sate usus, sate ceker, dan ikan bandeng menjadi menu tambahan. Sedangkan untuk minuman, umumnya menjual wedang jahe, susu jahe, teh manis, air jeruk dan kopi.
Dari Jogja, Angkringan sekarang tidak menjadi kuliner di solo saja, tetapi semakin mewabah dan menular hingga Jakarta. Tampaknya, selain unsur romantisme, warung sederhana ini juga jadi alternatif tempat nongkrong di solo saat malam, apalagi harga makanannya relatif murah.
Kata Angkring atau nangkring yang dalam bahasa Jawa mempunyai arti duduk santai. Angkringan memang sejatinya milik masyarakat kecil, atau wong cilik. Dan demikianlah awal-mula munculnya Angkringan sebagai kuliner di solo, dari arus bawah yang juga ditujukan pada orang-orang rendahan.
Angkringan di Jogja dipelopori oleh seorang pendatang dari Cawas, Klaten bernama Mbah Pairo pada tahun 1950-an. Cawas yang secara adminstratif termasuk wilayah Klaten Jawa Tengah merupakan daerah tandus terutama di musim kemarau. Tidak adanya lahan subur yang bisa diandalkan untuk menyambung hidup, membuat Mbah Pairo mengadu nasib ke Jogjakarta.
Kata Angkring atau nangkring yang dalam bahasa Jawa mempunyai arti duduk santai. Angkringan memang sejatinya milik masyarakat kecil, atau wong cilik. Dan demikianlah awal-mula munculnya Angkringan sebagai kuliner di solo, dari arus bawah yang juga ditujukan pada orang-orang rendahan.
Angkringan di Jogja dipelopori oleh seorang pendatang dari Cawas, Klaten bernama Mbah Pairo pada tahun 1950-an. Cawas yang secara adminstratif termasuk wilayah Klaten Jawa Tengah merupakan daerah tandus terutama di musim kemarau. Tidak adanya lahan subur yang bisa diandalkan untuk menyambung hidup, membuat Mbah Pairo mengadu nasib ke Jogjakarta.
Mbah Pairo bisa disebut pionir angkringan di Jogja. Usaha angkringan Mbah Pairo ini kemudian diwarisi oleh Lik Man, putra Mbah Pairo sekitar tahun 1969. Lik Man yang kini menempati sebelah utara Stasiun Tugu sempat beberapa kali berpindah lokasi.
Seiring bergulirnya waktu, lambat laun bisnis kuliner di solo ini kemudian menjamur hingga pada saat ini sangat mudah menemukan angkringan di setiap sudut Kota solo. Angkringan Lik Man pun konon menjadi yang paling dikenal di seluruh solo, bahkan di luar solo.
Berbeda dengan angkringan saat ini yang memakai gerobak, di awal kemunculannya angkringan menggunakan pikulan. Pada masa Mbah Pairo berjualan, angkringan dikenal dengan sebutan ting-ting hik (baca: hek). Hal ini disebabkan karena penjualnya berteriak “Hiiik…iyeek” ketika menjajakan dagangan mereka. Istilah hik sering diartikan sebagai Hidangan Istimewa Kampung. Sebutan hik sendiri masih ditemui di Solo hingga saat ini, tetapi untuk di Jogja istilah angkringan lebih populer.
Seiring bergulirnya waktu, lambat laun bisnis kuliner di solo ini kemudian menjamur hingga pada saat ini sangat mudah menemukan angkringan di setiap sudut Kota solo. Angkringan Lik Man pun konon menjadi yang paling dikenal di seluruh solo, bahkan di luar solo.
Berbeda dengan angkringan saat ini yang memakai gerobak, di awal kemunculannya angkringan menggunakan pikulan. Pada masa Mbah Pairo berjualan, angkringan dikenal dengan sebutan ting-ting hik (baca: hek). Hal ini disebabkan karena penjualnya berteriak “Hiiik…iyeek” ketika menjajakan dagangan mereka. Istilah hik sering diartikan sebagai Hidangan Istimewa Kampung. Sebutan hik sendiri masih ditemui di Solo hingga saat ini, tetapi untuk di Jogja istilah angkringan lebih populer.
Comments
Post a Comment